![aa gym di amerika aa gym di amerika](https://foto.sondakika.com/haber/2016/03/27/ozel-haber-aile-boyu-avrupa-sampiyonasina-8299723_x_osd.jpg)
Saya merasa masih baru memulai perjalanan menuju hidup yang bermanfaat.
![aa gym di amerika aa gym di amerika](https://i.pinimg.com/222x/8b/72/a3/8b72a3bcd3feffdd2c26f0281f532842.jpg)
Apa yang telah saya raih yang saya lihat belum seberapa. Namun kadang saya merasa perlu menuntaskan berbagai cita-cita hidup agar jadi orang yang benar-benar berguna. Sebagian orang mungkin bilang, bahwa saya beruntung dapat banyak kesempatan-sebutlah menulis buku, masuk televisi, lanjut kuliah doktor, hingga punya anak-anak yang baik dan gratis ke luar negeri. Di situ saya duduk sambil merenungi masa lalu dan memikirkan masa depan yang mau saya capai. Menetes karena melihat diriku, "kenapa diriku tidak maju?" Saya merasa berjalan di tempat. Kadang, saat menulis itu air mata saya menetes. Entah orang baca atau tidak, yang penting saya menulis apa yang ada di kepala dan hati saya. Saya ingat waktu kepalaku pusing saat pelatihan di ITB, saya kemudian pergi ke perpustakaan. Menulis jadi semacam "pelarian" untuk menemukan kebahagiaan. Dia harus disuplai terus dengan tulisan-terlepas orang baca atau tidak. Kini, di tengah kebingungan menulis disertasi-yang belum tuntas-tuntas-saya kadang menengok website saya ini. Karena saya ingin dapat apa yang saya niatkan untuk keluar rumah. Saya mulai pulang saat malam sudah larut. Dulu jarang saya di rumah di waktu sore atau awal malam. Benar juga sih.ĭia usia kayak sekarang malam saya banyak di rumah. "Malam itu untuk keluarga," begitu katanya. Kata istriku, saya harus batasi jam bekerja. Itu nggak biasa saya rasakan di usia dua puluhan, tapi di tiga puluhan hal itu terasa sekali. Nyeri itu ditambah lagi dengan jari-jari yang terasa kayak keram. Kadang kalau terlalu lama mengetik-kayak sekarang ini-tangan kanan saya agak rasa nyeri. Tapi di usia tiga puluhan tangan kanan saya rasa sakit. Orang-orang mengenalku sebagai penulis.ĭi usia dua puluhan, saya belajar menulis mati-matian. Dua puluh tahun terakhir, kurang lebih, saya memang banyak sekali menulis artikel, buku, hingga status di media sosial. Satu hal yang-mungkin-dikenali orang tentang saya adalah penulis. Saya segera menyelesaikan ragangan dua halaman itu, agar bisa melangkah menulis isi disertasi berdasarkan pada ragangan tersebut. Tapi kadang ada rasa malas, ada rasa capek, ada rasa ingin menunda-nunda. Saya merasa, sudah dekat lagi ini barang saya temukan. Sudah setahunan lebih saya mencari-cari, bongkar kiri-kanan, dan belum ketemu. Tapi, saat ini mendesak untuk saya selesaikan ragangan dua lembar yang diminta oleh supervisor saya. Soal bisa atau tidak bisa, itu urusan nanti. Mungkin, hidup sebagai dosen di kampung itu menyenangkan. Saya dikirim universitas saya untuk belajar, dan jika tamat kembali ke kampung untuk mengajar. Menuntaskan apa yang telah saya mulai pada 2016. Kini, saya harus kembali lagi menguatkan semangat. Semua hal harus kita jalani keluarga, kuliah, dan aktivitas. Tentu saja, tak terkecuali dengan memperhatikan istriku yang sementara mengandung di bulan keenam. Anak-anakku yang harus tetap tercukupi, dan bagaimana mereka bisa bersekolah dengan baik. Itu membuat saya bahagia.Īda perasaan senang jika tiap hari itu ada saja yang dibagi. Ketika orang butuh kepada saya, saya merasa itu juga kesempatan saya untuk berbagi kepada orang tersebut, kepada komunitas tersebut. Tapi, hati kecil saya kadang merasa tidak enak. Kadang, ketika diajak untuk jadi pembicara di sebuah forum, saya ingin menolak. Saya bisa menulis 10 buku dalam setahun, tapi saya belum tentu bisa menuntaskan 1 disertasi dalam 1 tahun. Menulis buku populer itu gampang, tapi menulis disertasi itu tidak mudah. Orang-orang menasihati seperti itu.ĭi masa pandemi ini saya kembali berusaha untuk membaca lagi berkas-berkas untuk menemukan novelty, "kebaruan" disertasi saya. Kadang, saya ingin sekali membaca lebih banyak tapi kadang juga ada saja godaan untuk beraktivitas yang lain. Saya harus bangkit dari kemalasan personal yang membuat saya menunda-nunda disertasi ini. Mungkin itu karena dua puluh tahun terakhir hari-hariku tidak lepas dari aktivitas organisasi. Serasa stress kepala kita jika tidak ada aktivitas. Sebagian sudah tapi sebagian yang lain belum. Saya diminta untuk nonaktif dari organisasi. Sementara itu, pandemi ini juga membuat saya tidak bisa keluar bebas untuk sekedar merenung ringan di cafe sambil menikmati kesendirian sambil mendengarkan beberapa musik yang saya senangi. Selalu ingin aktif, selalu ingin berbuat. Aktivisme yang sudah "mendarah-daging" dalam diriku memang sulit untuk ditunda. Tidak muda untuk menulis disertasi di tengah aktivitas yang datang silih-berganti, yang ditambah dengan pandemi global gegara virus corona.